Ikhlas
Dasar yang paling agung dan paling penting di dalam agama Islam adalah merealisasikan arti dari keikhlasan hanya kepada Allah pada semua bentuk peribadatan. Beberapa ulama mendefinisikan makna dari Ikhlas yaitu, “Engkau tidak menuntut saksi dan pemberi balas selain Allah.” Maka bisa dikatakan bahwa Ikhlas adalah inti dari Islam, dan kunci pembuka dari dakwah seluruh Rasul ‘alaihimussalam. Allah ta’ala berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al Bayyinah: 5)
قُلِ ٱللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًۭا لَّهُۥ دِينِى
Katakanlah: “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (QS. Az Zumar: 14)
Di dalam surat Al Mulk bahkan Allah lebih menjelaskan tentang fungsi kita hidup di dunia ini adalah untuk mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya. Allah berfirman:
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk: 2)
Fudhail menjelaskan makna kata: Ahsanu ‘Amala (yang lebih baik amalnya) dalam ayat di atas: Ialah amalan yang paling ikhlas dan paling benar. Amalan jika ikhlas saja tanpa dilakukan dengan benar tidak akan diterima Allah, dan amalan jika dilakukan dengan benar sedang tanpa keikhlasan juga tidak akan diterima Allah, sampai dilakukan dengan ikhlas dan benar. Sedang maksud ikhlas adalah amalan apa saja dilakukan berdasar karena Allah, dan dilakukan dengan benar jika dilakukan berdasar sunnah Rasulullah. (Lihat: Nadhratun na’im fi makarim Akhlaqir Rasulil karim).
Allah berfirman:
۞ شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura: 13)
Ibnul Qayyim berkata: Dan siapapun yang memperhatikan sumber dan inti syariah, ia akan tahu akan adanya hubungan erat antara perbuatan anggota badan dan perbuatan hati. Karena hal itu tak akan terjadi tanpa hubungan tersebut. Dan sungguh amalan hati (baca: rohani) lebih wajib dilakukan seorang hamba daripada amalan anggota badan (baca: jasmani). Maka bagaimanakah membedakan orang mukmin dan orang munafik melainkan dengan apa yang ada pada setiap orangnya dari amalan-amalan yang membedakan keduanya? Peribadatan hati lebih agung daripada peribadatan anggota tubuh, juga lebih banyak dan lebih langgeng. Ianya ada setiap waktu.” (Bada’iul Fawaid 3/330)
Beberapa fungsi besar suatu keikhlasan
1. Ikhlas adalah syarat diterimanya amal
Demikian karena amal tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat:
Pertama: Hendaknya amalan tersebut sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah di dalam Al Quran, atau apa yang diterangkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu yang baru di dalam perkara kami ini maka akan tertolak.” (HR. Bukhari)
Kedua: Hendaknya amalan tersebut ikhlas karena Allah.
Dari Umar bin Al Khattab ra bahwasanya Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amalan-amalan tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah dia niatkan, maka siapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya untuk dunia yang akan didapatnya, atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada yang ia niatkan hijrahnya tersebut.” (HR. Bukhari Muslim)
Dan yang sekata dengan hadits ini juga firman Allah:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌۭ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al Kahfi: 110)
2. Ikhlas adalah asas pondasi diterimanya suatu doa
Allah berfirman:
فَٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَٰفِرُونَ
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). (QS. Ghafir: 14)
3. Hilangnya keikhlasan adalah faktor ditolaknya suatu amal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling pertama diadili pada hari qiyamat adalah seseorang yang mati syahid, ia didatangkan dan ditanyakan nikmat-nikmatnya, lalu ia mengakuinya. Dia berfirman, “Apakah yang kamu amalkan di dunia ? “. Ia menjawab, “Saya berperang sampai mati syahid”. Dia berfirman, “Kamu berdusta, tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan itu telah dikatakan”. Kemudian ia diperintahkan, lalu wajahnya ditarik sehingga ia dilemparkan kedalam neraka. Seorang yang mempelajari Ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an didatangkan. Nikmat-nikmatnya, ditanyakan dan ia mengakuinya. Dia berfirman, “Apakah yang kamu kerjakan di dunia ?”. Ia menjawab, “Saya mempelajari Ilmu, mengajarkannya, dan saya membaca Al Quran karena-Mu”. Dia berfirman, “Kamu berdusta, karena kamu mempelajari Ilmu agar dikatakan pandai dan kamu membaca Al Quran agar dikatakan sebagai Qari’, dan itu semua telah diucapkan”. Kemudian diperintahkan, lalu wajahnya ditarik sampai dicampakkan kedalam neraka. Dan seorang yang diberi kelapangan oleh Allah dan diberi berbagai macam seluruh harta didatangkan dan ditanyakan nikmat-nikmatnya lalu ia mengakuinya. Dia berfirman, “Apakah yang kamu kerjakan di dunia ?”. Ia menjawab, “Saya tidak meninggalkan jalan yang mana engkau senang untuk di infakkannya (harta) melainkan saya menginfakkannya karena-Mu”. Dia berfirman, “Kamu berdusta, tetapi kamu kerjakan agar dikatakan sebagai dermawan, dan itu telah dikatakan”. Ia diperintahkan, lalu ditarik wajahnya kemudian dilemparkan kedalam neraka”. (HR. Muslim)
Tatkala hadits ini sampai kepada Muawiyah, dia menangis sejadi-jadinya, kemudian saat dia sadar, berkata, “Maha benar Allah dan Rasul-Nya, (yang Dia berfirman):
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌۭ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (QS. Hud: 15-16) (Shahih Ibnu Hibban 2/138 no. 408)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu bertanya: “Ada orang berperang untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang), ada orang berperang supaya disebut-sebut (namanya), ada orang berperang supaya dilihat kedudukannya, maka manakah yang dapat disebut fi sabilillah?” Rasulullah menjawab: “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah SWT menjadi tinggi, maka dia-lah yang berperang fi sabilillah” (HR. Bukhari, Muslim)
Juga dari Abu Umamah Al bahily dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلاً غَزَا يَلْتَمِسُ الأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ شَىْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ شَىْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِىَ بِهِ وَجْهُهُ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Apa pendapatmu tentang seorang yang berperang mencari pahala dan gelar nama? Apa yang dia akan peroleh? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia tidak mendapat sesuatupun.” Dia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, akan tetapi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Dia tidak mendapatkan sesuatupun. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali amalan yang murni dan mencari wajah Allah.” (HR. An Nasa’i)
Fudhail bin ‘Iyad berkata: Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan beramal karena mereka adalah syirik, sedang ikhlas adalah antara kedua ini. Dalam riwayat lain darinya: Ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya itu.
Semoga Allah selalu menghujamkan keikhlasan yang penuh pada setiap amal perbuatan yang kita lakukan. Allahu musta’an.
Disusun oleh: Ustadz Rohmanto