Hukum Menggabungkan Niat Puasa-puasa Sunnah
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
Jika ada seseorang yang menggabungkan antara niat wudhu dengan niat menyegarkan badan dan niat menghilangkan najis serta kotoran (maka hukumnya bagaimana?)
Hal itu dibolehkan sebagaimana juga pendapat Imam Syafi’i dan pendapat kebanyakan dari sahabat Imam Ahmad. Demikian karena niatan seseorang itu bukan niatan yang haram atau niatan yang makruh. Oleh karenanya jika seseorang menghilangkan hadats bermaksud bersamaan dengannya mengajarkan tata cara berwudhu’ maka tidak mengapa. Sebagaimana Nabi saw terkadang berniat shalat sekaligus memberikan pelajaran kepada orang-orang bagaimana shalat itu. (Jami ‘ Al Ulum Wal Hikam hal 61-62)
Syaikh Mahir bin Dhafir Al Qahtani hafidzahullah ditanya tentang menggabungkan puasa-puasa sunnah. Dia berkata:
Tidak mengapa menggabungkan niat puasa Ayyam Bidh (pertengahan bulan) dengan puasa Muharam. Alasan tidak mengapanya karena maksud dari syariat puasa ini telah tercapai. Para shahabat juga telah berfatwa dan tanpa ada perselisihan di antara mereka dalam hal ini. Aku sebutkan contoh hadits dari Abu Hurairah r.a dan selainnya bahwa Nabi saw bersabda:
وَإِذَا جَاءَ وَالْإمَامُ رَاكِعٌ فَلْيُكَبِّرْ تَكْبِيْرَةً وَاحِدَةً وَيَرْكَعُ
“Jika seseorang (yang mau shalat jamaah) baru datang sedang imam sudah rukuk, maka hendaknya dia bertakbir satu kali kemudian melakukan rukuk.”
Rasulullah tidak menambah sabda dengan kalimat setelah dia bertakbir dengan sabda: ‘hendaknya kemudian dia bertakbir intiqal (takbir pindah gerakan) untuk rukuk. Artinya satu kali takbir sudah berlaku untuk takbiratul ihram dan takbir intiqal. Ini menunjukkan dibolehkannya menggabungkan niat.
Contoh lain seorang masuk masjid dan menjumpai orang-orang sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat Fajar dan Tahiyyatul Masjid, hal ini boleh karena Tahiyyatul Masjid bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).
Kesimpulannya:
Menggabungkan niat dalam satu amalan itu ada dua:
Satu: Tidak boleh, jika amalan tersebut dzatnya diperintahkan sendiri-sendiri dan ada fadhilah sendiri-sendiri. Contohnya seperti menggabung qadha’ Ramadhan dengan puasa sunnah Syawal adalah tidak diperbolehkan. Karena masing-masing terdapat perintah sendiri-sendiri dan ada fadhilah sendiri-sendiri.
Dua: Boleh digabung, jika yang satu diperintah tersendiri secara dzatnya dan memiliki fadhilah tersendiri sedang yang satunya hanya digambarkan secara mutlak atau umum serta tidak ada fadhilah secara khusus. Contoh: boleh menggabungkan niat shalat tahiyatul masjid dengan niat shalat rawatib. Shalat tahiyatul masjid tidak digambarkan fadhilahnya secara khusus. Rasulullah hanya melarang seseorang duduk di masjid sebelum melaksanakan shalat dua rakaat. Maka, segala shalat dua rakaat yang dikerjakan sebelum seseorang duduk sudah disebut shalat tahiyatul masjid, baik itu shalat rawatib, shalat hajat, sunah wudhu’, shalat taubat dan seterusnya. Maka shalat ini bisa digabungkan dengan shalat sunnah rawatib yang memilik fadhilah tersendiri.
Contoh lain: Menggabungkan puasa Syawal dengan puasa Daud, puasa Ayyam Bidh dan Senin Kamis adalah boleh. Pada puasa Ayyam Bidh, puasa Senin Kamis dan puasa Daud tidak digambarkan fadhilah tertentu. Maka puasa-puasa ini bisa digabungkan niatnya dengan puasa sunnah Syawal yang memiliki perintah tersendiri dan fadhilah tersendiri.
Contoh nyata: Tanggal 11 Agustus 2014 ini, kita bisa menggabungkan niat puasa Syawal dengan puasa Senin Kamis karena bertepatan dengan hari Senin dan juga puasa Ayyam Bidh karena bertepatan dengan tanggal 15 Syawal, dan boleh juga ditambah dengan niat puasa Dawud. Dengan demikian kita insya Allah mendapatkankan pahala yang banyak dengan satu amalan saja.
Semoga Allah menerima amal shalih kita semua.
Gunungsempu, 10 Agustus 2014/14 Syawal 1435