Selalu Berkaca, Selalu Intropeksi
Setiap orang mempunyai hawa nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan. Hawa nafsu tidak pandang bulu; baik tua, muda, kaya, miskin, tinggi, pendek dan seterusnya. Bahkan semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, semakin kuat bujuk rayu syetan kepadanya. Jangan salah, setan bukannya berhenti menggoda seseorang yang ingin mendekatkan dirinya kepada Alloh, tapi bahkan semakin hebat menggoda dan mengajak hamba itu menjadi pengikut hawa nafsu. Bukankah pendahulu kita, Nabi Adam alaihissaam dan Hawa tergelincir dari surga karena bujuk dan tipu daya setan?
Alloh membekali tubuh kita dengan akal dan hawa nafsu. Namun, keinginan hawa nafsu biasanya mengajak kepada kesesatan, dan kebahagiaan dunia semata. Oleh karenya Allah menurunkan dua panduan hidup yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dua panduan mulia ini menjadi kendali seorang mukmin dalam menghadapi hawa nafsu. Saat berhadapan dengan hawa nafsu, ada kalanya suatu saat manusia itu selamat, tapi ada di saat lain dia terseret arus. Faktornya karena keimanan itu terkadang naik dan terkadang turun. Hanya mereka yang mau mengintropeksi diri dan bertaubat dari kesalahan yang tidak berlama-lama terseret arus bujuk rayu hawa nafsu itu.
Seorang pemberani dan bertekad tinggi adalah mereka yang berani menimbang-nimbang amal yang telah ia lakukan. Setiap saat ia sibuk menilai dirinya, apakah perbuatan, perkataan dan tingkah lakunya telah benar-benar mendatangkan keridhaan Alloh ataukah tidak. Tentu intropeksi diri memang bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pengorbanan dan kemauan yang maksimal.
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi muhasabah (intropeksi diri) ini menjadi dua, yaitu:
1. Muhasabah sebelum berbuat
Ialah intropeksi diri yang dilakukan sebelum melakukan suatu tindakan. Dengan memelihara niat, pikiran, kehendak dan tekad yang ada di dalam jiwa. Seseorang sebelum bertindak hendaknya memikirkan dengan matang apakah tindakan atau ucapannya nanti mendatangkan ridha Alloh ta’ala ataukah tidak. Intropeksi ini sangat penting karena akan dijadikan tolak ukur apakah tindakannya nanti benar-benar ikhlas karena Alloh ataukah hanya berharap pada rengkuhan dunia yang fana.
Dalam intropeksi ini ada empat tahapan yang harus dilalui:
a. Mampukah ia mengerjakannya?
Jika ternyata tidak mampu, maka ia harus meninggalkannya supaya waktu itu tidak terbuang sia-sia.
b. Apakah amalan itu jika dilakukan akan membawa hasil yang lebih baik daripada meninggalkannya ataukah tidak? Jika lebih baik dilakukan maka lakukanlah. Tapi kembali renungkan apakah amalannya lebih baik dilakukan sekarang ataukah nanti saja.
c. Apakah benar amalan tersebut karena mencari ridha Alloh atau hanya motivasi yang lain yang bersifat keduniaan?
d. Apa saja sarana yang dapat digunakan dalam rangka merealisasikan niatnya tersebut. Tentu sarana yang dapat digunakan adalah sarana yang memotivasi karena Alloh semata, seperti firman-Nya:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Qs. Al-Fatihah:5).
2. Muhasabah setelah berbuat
Dalam intropeksi kedua ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Intropeksi dalam ketaatan yang berkaitan dengan hak Alloh, yaitu intropeksi bagaimana cara kita melakukan sebuah amalan fardhu, apakah kita telah melakukan sesuai sunnah dan ketentuan yang semestinya, dan adakah kekurangan di dalamnya?
2. Intropeksi terhadap perbuatan baik yang ditinggalkan. Ukuran perbuatan baik tentu harus sepadan dengan yang dinilai oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ada kalanya suatu tindakan terkesan baik di mata kita, tapi ternyata ia buruk di sisi Alloh k. Dan betapa banyak waktu kita tergunakan pada hal-hal yang sia-sia. Seperti mulut. Hitunglah dan bandingkan berapa jam mulut digunakan untuk yang sia-sia daripada untuk berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Padahal betapa mulia dan besarnya pahala dzikir dan membaca al-Qur’an.
3. Intropeksi pada perbuatan mubah yang biasa dilakukan. Apakah karena mengharap ridho Alloh atau hanya sekedar kegiatan rutinitas semata? Betapa ruginya jika perbuatan rutinitas kita seperti tidur, berjalan, makan, berbicara, duduk, berdiri dan seterusnya jika tidak diniatkan mencari ridho Alloh. Dan betapa untungnya seseorang jika selalu meniatkan setiap gerak tubuh dan ucapannya demi mencari ridho Alloh. Bayangkan, betapa besar pahala yang dapat diraup jika segala kegiatan dilakukan demi ibadah karena Alloh; sebuah tidur yang berpahala, berpakaian yang berpahala, makan berpahala, mencari nafkah berpahala! Subhanalloh
Wa shollallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in