SALAH MAKSUD, TAK MENGAPA
وَعَنْ أَبِي يَزِيْدِ مَعْنِ بْنِ يَزِيْدِ بْنِ الْأَخْنَسِ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ – وهُوَ وَأَبُوْهُ وَجَدّهُ صَحَابِيُّوْنَ، قَالَ: كَانَ أَبِي – يَزِيْدٌ – أَخْرَجَ دَنَانِيْرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا، فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا، فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ: وَاللهِ مَا إيَّاكَ أَرَدْتُ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسْوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (( لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعنُ)) رَوَاهْ الْبُخَارِيُ).
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, bahwa dia, ayah dan kakeknya adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Ma’an berkata: Ayahku -yaitu Yazid- pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk sedekah. Dia titipkan uang tersebut pada seseorang di masjid (supaya dibagi kepada yang berhak). Kemudian aku datang mengambil uang tadi dan menemuinya dengan membawa uang tersebut. Kemudian dia (Yazid) berkata, “Demi Allah, bukan kepada engkau aku bermaksud bersedekah.” Kemudian aku adukan perkara ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau tetap mendapat (pahala) dari yang engkau niatkan, wahai Yazid, dan untukmu apa yang telah engkau ambil wahai Ma’an.” (HR. Bukhari 1422)
Hadits ini bercerita tentang kisah Ma’an dengan ayahnya. Ayahnya yang bernama Yazid biasa bersedekah kepada fakir miskin dengan beberapa dinar. Sedekahnya dititipkan pada seseorang yang berada di masjid, kemudian orang tersebut membagi-bagikan kepada yang berhak. Ma’an mengetahui ada pembagian sedekah di masjid, maka berangkatlah ia ke masjid dan meminta bagian sedekah yang berasal dari ayahnya sendiri tersebut. Orang yang dititipi sedekah itu akhirnya memberikan sedekah kepada Ma’an dengan ketidak tahuannya bahwa Ma’an adalah anak dari orang yang menitipkan sedekah kepadanya. Dia memberi sedekah kepada Ma’an karena dialihat Ma’an adalah dari kalangan orang yang berhak menerima (miskin). Setelah mendapatkan sedekah, Ma’an mengunjungi ayahnya dan menunjukkan uang tersebut. Ayahnya tidak ridha dan berkata,” Bukan kepada kamu maksudku bersedekah ini!”. Maka pergilah Ma’an mengadukan perkara ini kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Engkau mendapatkan pahala dari apa yang engkau niatkan, wahai Yazid dan engkau mendapatkan apa yang telah engkau ambil, wahai Ma’an.”
Kalimat Rasulullah SAW kepada Yazid disini menunjukkan bahwa amalan tergantung dari niatnya. Seseorang jika berniat kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala meski amalannya tidak sesuatu yang dia maksudkan. Dalam hadits ini meski ayahnya Ma’an tidak berniat mensedekahkan uangnya kepada anaknya, namun malah anaknya yang mengambil , maka dia tetap mendapatkan pahala. Seseorang akan ditulis pahala atas niatnya yang baik meski fakta di lapangan pada akhirnya berbeda dari yang dia maksudkan dari awal. Dari kaidah ini lahir berbagai hukum. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama: Jika seseorang membayar zakat, kemudian diketahui bahwa orang yang menerima zakatnya ternyata bukanlah orang yang berhak menerima zakat, maka zakatnya tetap sah dan tidak perlu mengulang. Demikian karena orang tersebut sudah bermaksud membayar zakat kepada orang yang berhak menerima zakat, meski hasilnya tidak seperti yang dia maksudkan dari awal.
Kedua: Jika ada seseorang yang wakaf sesuatu semisal rumah kecil kemudian dia berkata,’Aku wakafkan rumah ini,’ seraya menunjuk rumahnya yang besar maka hukumnya adalah sesuai yang dia niatkan yaitu wakaf rumahnya yang kecil meski salah dalam menunjuk.
Ketiga: Jika ada orang yang tidak tahu bedanya umrah dan haji kemudian suatu saat dia bersama-sama dengan orang lain melaksanakan haji tamatu’ dan ketika di miqat saat mau melaksanakan umrah qudum dia membaca niat “Labbaika Hajjan” (lazimnya niat haji) maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang melaksanakan umrah qudum untuk haji tamattu’nya (bukan qiran) .
Keempat: Jika ada seorang suami berkata kepada istrinya, “Kamu saya cerai!” sedang niatnya adalah mencerai dari suatu ikatan tertentu bukan mencerai dari pernikahannya maka dia dihukumi sesuai niatnya yaitu tidak mencerai istrinya.
Hadits ini juga memuat banyak hukum dan faidah dalam beberapa bab ilmu fikih, diantaranya adalah sebagai berikut:
Orang tua boleh bersedekah untuk anaknya sendiri, dan daalil selain hadits di atas adalah hadits Ibnu Mas’ud ra ketika dia berkata kepada istrinya yang hendak bersedekah kepada orang lain,” Suami dan anakmu lebih berhak engkau sedekahi.”
Diantara yang lain adalah boleh orang tua membayar zakat dan diberikan kepada anaknya dengan syarat tidak menggugurkan kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya dan kewajiban-kewajiban lain. Misalnya orang tua membayarkan hutang-hutang anaknya dengan zakat, maka hal ini tidaklah mengapa.
(Intisari dari syarah Riyadhul Shalihin li ibn Utsaimin)
Rohmanto, Lc