Bimbingan KBIH Rindu Ka’bah: (2) Wukuf di Arafah
Amalan wukuf di Arafah ini adalah inti dari pelaksanaan haji. Maka sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu Arafah.” (HR. Tirmizi, no. 889. Nasa’i, no. 3016, redaksi hadits ini bersumber darinya, dishahihkan oleh Syekh Al-Albany rahimahullah dalam shahih Nasa’i)
Oleh karena itu wukuf di Arafah adalah termasuk rukun dari haji. Siapa dari jamaah haji yang tidak melaksanakannya maka hajinya batal dan tidak bisa digantikan hanya dengan membayar dam atau denda. Ia harus mengulang di tahun setelahnya. Tentu hal ini akan sangat merepotkan jamaah, mengingat biaya haji yang besar serta kuota haji yang sangat ketat dibatasi. Seseorang tidak mungkin bisa mengulang kembali hajinya di tahun setelahnya kecuali sebelumnya dia sudah mendaftar double dua tahun yaitu di tahun dia berhaji saat itu dan tahun setelahnya sekaligus. Maka dalam hal ini jamaah harus benar-benar diyakinkan melaksanakan wukuf Arafah dengan sempurna. Wukuf yang sempurna adalah meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah tanpa membeda-bedakan mana yang wajib dan mana yang hanya sunnah.
Setelah melaksanakan Tarwiyah sebagai amalan pembuka ibadah haji, di pagi hari tanggal 9 dzulhijjah jamaah haji akan dijemput bis dari Mina menuju Arafah. Mina adalah tempat pelaksanaan tarwiyah di tanggal 8 dzulhijjah hingga pagi 9 dzulhijjah, sementara Arafah adalah tempat dilaksanakannya Wukuf dari Dzuhur hingga tenggelamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah. Pada tulisan sebelumnya telah disampaikan bahwa Tarwiyah di Mina meski hukumnya sunnah, namun KBIH Rindu Ka’bah berusaha tetap melaksanakannya dengan terkadang konsekuensinya jamaah membayar biaya konsumsi selama melaksanakan ibadah ini.
Kenyamanan jamaah yang berangkat dari Mina menuju Arafah
Pengangkutan jamaah dengan bis dari Mina ke Arafah ini terbilang sangat lancar karena Mina dan Arafah adalah satu komplek wilayah pelaksanaan haji yang steril dari siapapun yang tidak melaksanakan ibadah haji. Jalan dari Mina dan Arafah adalah jalan yang sepi dan hanya dilalui oleh para pejalan kaki – yaitu mereka orang-orang arab atau para mukimin yang tidak memakai fasilitas transportasi sebagai bentuk penghematan biaya-. Maklum, ibadah haji bagi mereka seperti ibadah jumatan di tanah air kita. Mereka melaksanakannya sudah sangat terbiasa dan hampir rutin setiap tahun. Ibadah haji bagi mereka seperti liburan rutin tahunan. Terlihat di jalanan orang-orang bersama keluarganya menggendong tas dan bahkan anak-anak dan bayi mereka berjalan menuju Arafah dengan pakaian yang serba putih yaitu pakaian Ihram. Di jalanan mereka meneriakkan suara yang sama yaitu talbiyah…
لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ. اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَاْلمُلْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ.
Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika labbaik inal hamda wanni’mata laka walmuk laa syariikalak.
Sungguh suasana ini semakin mengharukan dan menambah syahdu, di pagi yang dingin menaiki bis jamaah yang berangkat dari Mina menuju Arafah seakan diiringi oleh lautan manusia di kanan kiri jalanan dengan bersuarakan talbiyah. Pemandangan yang tidak akan didapatkan kecuali bagi mereka yang melaksanakan tarwiyah! Kenapa saya katakan demikian, karena jamaah yang tidak melaksanakan Tarwiyah mereka sudah berada di Arafah sejak sehari sebelumnya. Mereka mungkin sedang antri makanan, antri mandi, atau bermalas-malasan di tenda, atau bahkan tidur karena kecapekan di malam harinya karena memang pagi itu belum ada amalan yang harus mereka lakukan. Mereka sekedar menunggu pelaksanaan wukuf di siang harinya. Jamaah yang tidur di Arafah dari tanggal 8 Dzulhijjah tentu sangat keletihan. Mereka tidur di malam harinya dengan desak-desak dan tenda yang sangat sederhana dan karpet yang sangat ‘maaf’ kotor karena langsung dibentangkan di atas pasir. Memang tenda di Arafah tidak diset oleh kerajaan Saudi sebagai tempat yang layak untuk bermalam. Jamaah haji dunia selain Indonesia dan beberapa negara lain tidak bermalam di Arafah tapi di Mina untuk melaksanakan tarwiyah. Mina adalah berisikan lautan tenda yang sangat layak dipakai untuk bermalam. Tidak sedikit lewat obrolan ringan kami dengan jamaah yang tidak melaksanakan tarwiyah, mereka tidak bisa tidur malam di Arafah karena udara yang sangat panas atau kebalikannya sangat dingin.
Sedang jamaah yang berangkat dari Mina pagi itu jelas sudah fresh karena bisa tidur nyenyak di malam harinya, sedang pagi harinya mereka sudah mandi tanpa banyak antri, sudah makan pagi dan yang pasti sudah melaksanakan sunnah Nabi yaitu Tarwiyah.
Perjalanan dari Mina ke Arafah memakan waktu kurang dari satu jam. Sesampai di Arafah jamaah masuk ke tenda yang sudah disiapkan Kementerian Agama dan sudah disurvey oleh para ketua rombongan jauh hari sebelum pelaksanaan ibadah haji. Tenda tersebut jelas kosongnya dan tidak mungkin ditempati jamaah yang sudah datang sebelumnya karena sudah diatur alokasi masing-masing KBIH oleh ketua kloter. Ketika survey sebelumnya KBIH Rindu Ka’bah sudah menempatkan spanduk dan bendera kebesarannya: bendera hijau muda KBIH Rindu Ka’bah.
Sesampai di tenda jamaah istirahat, berdzikir, melaksanakan shalat Dhuha dan tidak lupa dibawa oleh para pembimbing untuk ukur tensi atau periksa kesehatan. Disini jamaah juga akan mendengarkan beberapa ceramah atau informasi yang disampaikan oleh kementerian agama (jika ada). Kemudian jamaah menunggu beberapa jam hingga waktu dhuhur, saat dimulainya pelaksanaan wukuf Arafah.
Pelaksanaan Wukuf di Arafah
Saat masuk waktu dhuhur, muadzin akan mengumandangkan adzan kemudian jamaah haji akan melaksanakan shalat dhuhur diqasar dua rakaat dan dijama’ dengan qashar shalat Ashar dua rakaat. Jamaah akan diimami oleh imam yang sudah dimusyarahkan atau ditunjuk sebelumnya oleh ketua kloter. Bisa jadi dalam satu tenda ini berisi bermacam-macam jamaah dari berbagai KBIH. Satu tenda minimal diisi 40 orang bagi tenda yang kecil hingga ratusan orang bagi tenda yang besar.
Jamaah kemudian mendengarkan khutbah Arafah dan doa dan dzikir hingga tenggelamnya matahari. Inilah waktu dimana jutaan manusia akan bersama-sama menumpahkan air mata, bertaubat dan bertaqarrub serta memohon kepada Allah. Dzikir yang utama di waktu ini adalah:
لاَإِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر
Lâ Ilâha Illallâh Wahdahu Lâ Syarîkalahu, Lahulmulku Wa Lahulhamdu, Wahuwa ‘Alâ Kulli Syaiin Qadîr. “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Esa, Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dan diwaktu inilah Allah membangga-banggakan para hamba-Nya yang sedang wukuf serta akan mengabulkan keinginannya.
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُوثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).
Allah pun begitu bangga dengan orang yang wukuf di Arafah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa).
Lihat selengkapnya di: (http://rumaysho.com/amalan/keutamaan-hari-arafah-2907)
Kesalahan jamaah ketika wukuf di Arafah
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan oleh beberapa jamaah haji, dan KBIH Rindu Ka’bah sangat-sangat menghimbau jamaah untuk tidak melakukannya:
- Melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu.
Hal ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau justru malah menyingkat shalat fardhu atau diqashar, maka tidaklah seyogyanya yang sunnah malah ditambah jika yang fardhu saja diringkas. Tidak ada shalat sunnah dhuhur dan Ashar baik sebelum maupun setelahnya.
- Dzikir berjamaah
Hal ini sangat lazim dilakukan khususnya jamaah dari Indonesia. Dengan dipimpin oleh ketua rombongan atau bahkan ketua kloternya jamaah berdzikir dengan keras bahkan dengan pengeras suara, membaca kalimat tayyibah dan doa-doa permohonan kepada Allah. Padahal Rasulullah dan para shahabat dalam berdzikir dan berdoa khususnya ketika wukuf ini adalah sendiri-sendiri dan bukan dengan suara keras.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Oleh karena itu Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al Umm, 1: 150)
- Bersantai dan berbuat hal yang sia-sia di waktu wukuf
Beberapa jamaah malah mengobrol santai, tidak berdzikir dan berdoa, bersendau gurau, merokok, dan bahkan tidur. Padahal waktu ini adalah waktu yang sangat mulia dan seluruh kaum muslimin berharap bisa merasakannya. Waktu ini adalah waktu dimana Allah sangat bangga dan akan mengabulkan segala keinginan jamaah haji. Maka tidak selayaknya jamaah menyia-nyiakan waktu ini. Memang setan tidak henti mengganggu manusia bukan saja ketika bermaksiat, namun lebih-lebih ketika beribadah. Bukan hanya di tanah air, di tanah suci pun mereka hadir untuk memalingkan manusia dari melakukan ketaatan kepada Allah kepada bermaksiat kepada Allah.
قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَءَاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَٰكِرِينَ
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al A’raf: 16-17)
Maka selayaknya jamaah haji melawan godaan setan ini dengan berbagai cara; menyibukkan berdzikir, berdoa, membaca Al Quran dan sebagainya. Jika mengantuk bisa berjalan-jalan sebentar, atau berwudhu. Salah satu cara mengusir kantuk bisa juga dengan makan camilan dan sekedar mengajak bicara dengan sesama jamaah, tentu pembicaraan yang berkaitan dengan agama.
- Meninggalkan Arafah sebelum tenggelam matahari
Tidak sedikit jamaah yang meninggalkan Arafah untuk menuju ke Muzdalifah sebelum tenggelam matahari. Padahal yang dicontohkan Rasulullah adalah jamaah hendaknya berdiam diri di Arafah sampai tenggelam matahari. Alasan jamaah yang meninggalkan Arafah ini bermacam-macam diantaranya karena khawatir jalanan padat, capek, sakit, atau terburu-buru dijemput oleh bis. Padahal semua ini bisa diatasi dengan baik dan bijak jika dibicarakan dan dimusyarahkan. Jamaah yang sakit tetap bisa di Arafah dan dirawat oleh dokter atau di rumah sakit Arafah atau di dalam ambulan. Sedang sopir yang sudah terlalu dini menjemput tentu juga bisa diminta untuk menunggu sebentar hingga tenggelam matahari. Memang harap dimaklumi, mereka para sopir inginnya adalah cepat selesai pekerjaan, maka mereka sudah datang di Arafah jauh sebelum tenggelamnya matahari.
Berikut hadits terkenal yang sangat panjang diriwayatkan Jabir radhiyallahu anhu menceritakan haji nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Kemudian Bilal mengumandangkan adzan satu kali, lalu membaca iqamah, maka Nabi pun melaksanakan shalat Zhuhur, kemudian Bilal membaca iqamah sekali lagi, lalu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaksanakan shalat ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat (sunnah) di antara kedua shalat tersebut. Kemudian beliau menaiki untanya hingga tiba di tempat wuquf, beliau menjadikan perut untanya, al-Qashwa’, rapat ke batu-batu gunung dan menjadikan tempat berkumpulnya para pejalan kaki ber-ada didepannya, beliau mengahadap ke arah kiblat dan tetap wuquf hingga matahari ter-benam dan hilangnya mega kuning, serta bola matahari tenggelam. (Ketika wuquf beliau membonceng Usamah (bin Zaid,-Pent) dibelakangnya). (Hadits Shahih Muslim)
- Melaksanakan shalat Maghrib dan Isya di Arafah
Padahal yang dituntunkan Rasulullah shalllallahu alaihi wasallam adalah melaksanakan shalat maghrib dan isya dengan cara dijama takhir dan qashar di Muzdalifah, bukan di Arafah. Meski bis penjemput dating telat missal hingga waktu Isya’ maka selayaknya bagi jamaah tidak perlu melaksanakan shalat di Arafah. Mereka akan mengawali mabit di muzdalifah dengan melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ dijama qashar.
Terjemah hadits Jabir yang menceritakan haji nabi bisa dilihat secara lengkap di: http://www.alquran-sunnah.com/haji-dan-umrah/manasik-haji/157-tata-cara-pelaksanaan-haji-rasulullah-shalallaahu-alaihi-wasalam-
Demikian perjalanan bimbingan ibadah haji KBIH Rindu Ka’bah hingga selesai wukuf di Arafah. Bahasan berikutnya adalah tentang bagaimana Mabit di Muzdalifah
(Bersambung)