Membaca Al Quran dengan Langgam Jawa
Bacaan Al Quran di acara peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara dilanggamkan Jawa bak suara sinden dan lagu mocopatan. Menteri Agama pasang badan, beliaulah yang mendesain semua ini. Para alim ulama, para ustadz sejagat tanah air dibikin gempar dari pertanyaan umat bagaimana hukumnya. Ada diantaranya membela setengah mati, ada di antaranya menolak setengah hidup.. eh. Lha, yang ngenes itu orang-orang yang tidak tahu agama juga pada urun pendapat. Dan, lebih ngenes lagi umat tanyanya malah kepada mereka. Seperti dokter mata ditanyai tentang penyakit perut. Atau bakul jamu ditanya tentang bikin pondasi rumah. Rumit dan runyam (kayaknya begitu, meski ga begitu-begitu banget siih)
Tulisan kali ini tidak akan memihak pendapat yang mengatakan hal itu haram atau kepada pendapat yang mengatakan hal itu halal. Karena sepertinya masing-masing pihak sangat kuat dalam berargumentasi dengan dalil dan fatwa-fatwa ulama terkenal tentunya. Namun semua sepakat bahwa letak perselisihannya hanya terbatas pada bacaan Al Quran yang dilanggamkan Jawa dan tetap sesuai makharijul huruf dan tajwidnya. Sedang jika bacaan Al Quran dengan langgam Jawa itu merusak makharijul huruf dan tajwidnya, yaitu seperti merubah bunyi huruf Al Quran dan atau menyalahi panjang pendeknya maka tentu semua sepakat hal ini adalah haram. Jangankan Al Quran yang dilanggamkan Jawa, memakai ilmu Qiraat Sab’ah atau ‘Asyrah pun jika salah makhraj dan tajwidnya juga diharamkan.
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi hal ini? Bagaimana duduk perkara dan hukum membacanya? Perlu diingat bahwa sumber hukum Islam ada yang bernama Saddudz Dzara’i. Yaitu prinsip memotong jalan kerusakan sebagai cara menghindari kerusakan tersebut. Atau mudah memahaminya adalah mencegah terjadinya kerusakan sejak dini. Yaitu, jika ada sesuatu yang hukumnya halal atau boleh namun jika dilakukan akan menimbulkan kerusakan, perpecahan, perselihan atau madharat untuk umat maka sesuatu itu berubah hukum menjadi haram. Contoh dalam ilmu ushul fikih yang paling sering dikemukakan para ulama adalah seperti haramnya seseorang menggali sumur di tanahnya, sementara tanah tersebut sering dipakai untuk lalu lalang orang-orang. Alasannya adalah dikhawatirkan seseorang yang lewat tanahnya akan jatuh atau celaka karena galian sumurnya. Menggali sumur tentu halal saja, apalagi di tanah sendiri. Namun perbuatan tersebut akan menimbulkan kecelakaan pada orang lain, maka dia tidak bisa berdalih dengan berucap,”Lha ini kan tanah-tanahku sendiri…”. Kenapa dilarang, padahal aslinya halal? Karena dikhawatirkan menimbulkan masalah pada orang lain. Contoh lain adalah dilarangnya menjual pisau atau senjata tajam di tengah wilayah berkonflik karena dikhawatirkan pisau digunakan untuk membunuh lawan yang sedang berkonflik sehingga akan timbul masalah lebih besar yaitu jatuhnya banyak korban.
Semisal seseorang hendak melaksanakan shalat Tarawih 40 rakaat di masjid. Meskipun boleh saja, namun alangkah bijaknya diurungkan, karena pasti akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Atau seseorang menjadi imam shalat dengan memakai topi dibalik, atau pakai kaos singlet, atau memakai kaos partai maka tentu akan menimbulkan pergunjingan bahkan perselisihan jamaah meski secara hukum mungkin boleh-boleh saja. Contoh lain juga seperti seseorang membunyikan murattal Al Quran dengan keras di samping Rumah Sakit yang di dalamnya penuh pasien yang sedang istirahat tentu juga dilarang atau hukumnya menjadi haram.
Dalam peristiwa ini, jika saja direnungi Al Quran sejatinya dibaca karena beberapa tujuan, yaitu supaya dihafalkan, dihayati, dimengerti maknanya kemudian diamalkan dan diajarkan. Maka jika bacaan Al Quran malah menimbulkan konflik, pertentangan masyarakat dan kegaduhan maka sungguh jauh dari tujuan aslinya. Bacaan Al Quran dengan langgam Jawa seperti suara Sinden dan Lagu Mocopatan menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Para wali dan para pendahulu memang mewariskan langgam jawa untuk membaca mocopat, namun satupun di antara mereka tidak ada yang menerapkannya pada bacaan Al Quran. Menerapkan pada Al Quran tentu seperti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Apa jadinya jika pintu kebolehan membaca Al Quran dengan langgam Jawa ini dibuka. Ke depan seseorang bisa jadi tidak lagi belajar ilmu Qiraat, namun malah belajar langgam Jawa. Para santri untuk belajar mengerti lagu membaca Al Quran tidak lagi datang ke pesantren yaitu kepada para kyai dan ustad ahli qiraat namun malah mungkin akan mendatangi para dalang, sinden dan para ahli tembang jawa. Ilmu qiraat yang diwariskan ratusan tahun oleh para ulama qiraat akan tersisih dan ditinggalkan karena yang sedang booming saat ini adalah bacaan Al Quran versi langgam Jawa. Sungguh tidak semudah itu mengatakan bahwa membaca Al Quran dengan langgam Jawa itu boleh-boleh saja, karena efek madharatnya sangat besar sekali. Boleh sih, tapi mbok ya jangan. Cukuplah bangsa ini dengan ujian-ujjian perselisihan yang ada, dan tak perlu ditambah-tambahi lagi. Orang Jawa mengatakan: Ngono yo ngono, neng ojo ngono.
Wallahul musta’an.