Pertolongan Allah Begitu Dekat Ketika Haji (1)
Pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah 1435 selepas melempar jamarat, jamaah haji KBIH Rindu Ka’bah bergegas pulang ke tenda. Saat itu sekitar pukul 11.00 siang. Namun, seorang jamaah kami yang bernama Bpk Umar Syahid harus diantarkan ke Rumah Sakit untuk cuci darah. Selama di tanah suci ini beliau setiap dua hingga tiga hari sekali harus di antarkan untuk cuci darah. Dan, takdirnya jadwal cuci darahnya pas di hari itu. Saat di hotel, sebelum prosesi haji ini berjalan kami tinggal keluar hotel, menghadang taksi dan berangkat sampai ke Rumah Sakit. Selesai. Namun, hari ini sebuah perjuangan, kami terlebih dahulu harus keluar menembus lautan manusia menuju area jalan raya yang ada taksi supaya bisa mengantarkan kami ke Rumah Sakit. Akhirnya, setelah bermusyarah dengan para ketua regu, jamaah haji yang lain dipimpin oleh Pak Mujiran dan para ketua regu untuk pulang ke tenda, sementara kami selaku pembimbing mengantarkan Bpk Umar Syahid untuk keluar komplek Jamarat dan Mina menuju Rumah Sakit.
Perjuangan dimulai
Berbekal niat bismillah, akhirnya kami berempat; Bpk Umar Syahid, Istrinya, dan seorang jamaah lagi yang sering menyertai beliau ketika cuci darah -yaitu bu Titin- berangkat keluar komplek terpadat sedunia di hari itu. Arah timur barat, apalagi posisi Rumah Sakit benar-benar tidak diketahui. Hanya tawakal saja kami berani nekat berangkat. Perlu diketahui, jika seseorang yang terlambat cuci darah, secara hitungan manusia bisa membahayakan nyawanya.
Letak jamarat kami ada di lantai tiga, kami turun menggunakan eskalator menuju ke lantai dasar. Sesampainya di lantai dasar, subhanallah lautan manusia berjubel sangat padat sekali, di tambah cuaca yang sangat panas dan butanya area kami berjalan menerka sesuai insting kami. Bertanya kepada jamaah haji lain pun pasti akan kecewa, karena mereka juga rata-rata pendatang seperti kami. Setelah berjalan menembus lautan manusia itu sampailah kami di pinggir halaman Jamarat. Seorang petugas Saudi kami tanya di mana kami bisa mendapatkan taksi. Beliau memberikan petunjuk supaya kami berjalan ke jalan raya sebelah kirinya. Berjalan kami sesuai arahannya. Namun tak disangka, jalanan menuju ke jalan raya tersebut sangat penuh dengan jamaah dan selama kami berjalan satu pun orang Indonesia tidak nampak. Satu pun mobil yang berjalan pun tidak ada. Berjalan dan berjalan lebih dari setengah jam belum juga nampak jalan raya apalagi mobil taksi yang lewat. Semua penuh dengan lautan manusia yang berjalan kaki. Pak Umar Syahid mulai kelelahan. Wajar, karena kami pun sangat lelah apalagi beliau yang sudah tua dan sedang sakit. Beberapa kali istirahat, akhirnya sampai ke jalan raya. Sesampai jalan raya kami saksikan jalanan macet cet…! Macet total. Mobil-mobil hampir tidak bergerak dan hampir semuanya adalah mobil pribadi. Ada satu dua taksi namun juga penuh dengan penumpang. Hari itu benar-benar sebuah hari tersibuk yang pernah kami saksikan.
Aziziah, oo Aziziah
Bpk Umar Syahid beserta istri, serta bu Titin menunggu di emperan toko, sementara kami turun di samping jalan raya mencegat taksi yang mau mengantarkan kami. Berapa ratus reyal pun Insya Allah siap kami bayar. Namun, puluhan taksi semua menolak. Wajar, jalanan macet, dan memang hari ini adalah hari libur mereka.
Setelah menunggu hampir satu jam, kami masih gagal mendapatkan taksi. Kami telpon mohon saran kepada teman yang kebetulan tahu posisi kami. Dia menyarankan kami untuk jalan kaki saja menuju ke hotel. Lupakan Rumah Sakit, yang penting ke hotel dulu. Letak kami saat itu di Aziziah, sementara hotel kami di Mahbas Jin. Jarak sekitar 3-4 km. Akhirnya terpaksa kami berempat berjalan kaki kembali dan tidak memikirkan bagaimana jadwal cuci darah hari ini. Semua lelah, dan pikiran buntu karena tidak ada transportasi menuju ke rumah sakit. Taksi yang terkadang lewat, ternyata libur mengangkut. Berapa ratus reyalpun yang kami tawarkan mereka menolak. Kami sadar, karena mereka akan terjebak macet dan khawatir tidak bisa mengantarkan kami ke tempat tujuan. Rumah Sakit diperkirakan sekitar 30 km dari tempat tersebut. Setelah berjalan beberapa menit, Pak Umar kelelahan lagi, berkali-kali istirahat hingga setelah setengah jam berjalan lagi beliau menyerah. Benar-benar sudah tidak kuat berjalan.
Kuasa Allah mulai turun
Hanya satu doa yang selalu kami munajatkan saat itu yaitu supaya Allah kirimkan kendaraan untuk menjemput kami. Namun, kendaraan itu belum juga kami dapatkan. Setelah Pak Umar istirahat dan tidak mau berjalan lagi, kami lihat ada seorang Bapak-bapak Jamaah haji Indonesia yang berjalan bersama istrinya mendorong kursi roda yang kosong! Kami coba dekati dan bertanya.
Kami: “Mau kemana, Pak?”
Bapak: “Mau ke hotel, nak.. Kami bingung gak tahu tempatnya.”
Kami: “Lha hotelnya dimana, Pak?”
Bapak: “Di Mahbas Jin.”
Masya Allah, ternyata bapak ini hotelnya satu komplek dengan hotel kami. Namun beliau bukannya berjalan ke arah hotel, tapi malah berjalan menuju area Aziziah yang baru saja kami tinggalkan. Akhirnya kami sampaikan bahwa beliau salah jalan, dan kebetulan kami juga akan ke area Mahbas Jin. Beliau kami ajak untuk putar balik arah menuju ke Hotel.
Kami: Itu, kursi rodanya kok didorong saja, gak dipakai, pak?
Istrinya: Saya harusnya didorong, mas. Tapi saya udah capek, pengin jalan saja.
Kami: Subhanallah, pak… Kami pinjam kursinya untuk mendorong jamaah saya, ya. Beliau sudah tidak kuat berjalan.
Bapak: O, silakan mas…Silakan
Subhanallah, Allah berikan pertolongan dengan kursi roda yang ‘nyasar’ kepada kami.
Akhirnya Pak Umar Syahid kami dorong dengan kursi roda ‘nyasar’ tadi. Setelah setengah jam, sampailah kami di hotel. Jamaah yang tersesat tadi rupanya sudah mengetahui posisi hotelnya. Setelah kami berikan kursi rodanya dan mengucapkan terima kasih, beliau langsung bergegas menuju hotel. Terlupa ternyata ada satu bungkus yang terbawa oleh Bu Titin. Menuju lift naik ke lantai 9 tempat tinggal kami. Mandi, tahalul, ganti kain ihram dengan baju dan Alhamdulillah lega. Satu PR mencari sesuap nasi. Lapar, dan lelah. Jadwal cuci darah yang harusnya jam 12.00 siang ini kami abaikan. Kami berempat semua kelelahan, dan istirahat di kamar masing-masing. Karena kami tidak berencana ke hotel, kami tidak membawa kunci kamar sehingga tidur di depan kamar. Hm.. tetap nyaman..
(bersambung)