Tuntunan Merawat Jenazah (2)
Oleh: Rohmanto, Lc , Diambil dari Kitab Minhajul Muslim
Materi Kedua: Yang dilakukan setelah mayat meninggal hingga dikuburkan
- Mengumunkan kematiannya
Hendaknya kematian seseorang diinformasikan kepada saudara, sahabat, dan kaum muslimin supaya mereka dating merawatnya. Namun dalam mengumumkan ini tidak perlu berlebihan melalui masjid-masjid, iklan-iklan di media massa dan sebagainya.
- Larangan niyahah (meratapi) kematian seseorang.
Tidak boleh keluarga atau siapapun yang masih hidup menjerit-jerit, merobek-robek baju, menggundul rambut sebagai wujud kesedihan atas kematian saudaranya tersebut.
مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang diratapi kematiannya maka ia akan diazab dengan sebab ratapan itu pada hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu]
Maksudnya jika sang mayit sebelum meninggal mewasiatkan untuk diratapi, maka dia akan disiksa di kuburnya.
Namun jika menangis biasa maka hal itu diperbolehkan sebagaimana Rasulullah pun menangis atas wafat cucu beliau yaitu Umamah binti Zainab.
- Larangan Ihdad
Seseorang tidak boleh ihdad (tidak berhias yang syar’i) lebih dari tiga hari. Namun seorang istri wajib ihdad hingga empat bulan sepuluh hari atas kematian suaminya.
Hadits:
لَا تُحِدُّ امْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Seorang wanita tidak boleh ber-ihdad terhadap mayyit selama lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya selama empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
- Melunasi hutang
Hadits:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang beriman tergantung dengan hutangnya, sampai dilunasi hutangnya.” HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6779.
- Mengucapkan istirja’ (Innalillahi wainnaa ilaihii rojiuun)
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya.
Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR. Muslim 918)
- Memandikan Jenazah
Jika seorang muslim meninggal dunia, baik dia orang dewasa atau anak kecil, baik jasadnya utuh atau terpotong hendaknya dimandikan semua. Sedang jenazah muslim yang meninggal dunia di medan perang maka tidak dimandikan karena luka dan darah mereka di hari kiamat akan menebarkan bau harum minyak kasturi sebagaimana tersebut di dalam hadits riwayat Ahmad no. 13777). Dalam memandikan ini hendaknya dipilih orang yang shalih lagi bias menyimpan rahasia. Setelah jenazah siap dimandikan di tempat yang tertutup dan di atas suatu dipan, hendaknya dia menekan perut untuk mengeluarkan kotorannya, kemudian membasuh kemaluan dan membersihkannya, dan memwudhukan jenazah tersebut. Setelah diwudhukan, jenazah dimandikan denganc ara menyiraminya dari arah kepala, badan, dan bagian bawah tubuhnya sebanyak tiga kali. Jika dirasa belum bersih bisa diulang beberapa kali hingga lima kali. Pada basuhan terakhir dicampur dengan air sabun dan sejenisnya seperti daun bidara. Bagi jenazah wanita, rambutnya hendaknya diurai dan setelah dimandikan bias dipintal kembali. Setelah selesai tubuh jenazah ditaburi kamper dan bias diolesi minyak-minyak wangi.
Jika tidak ada air untuk memandikan jenazah maka ditayamumi. Demikian juga jika jenazah adalah laki-laki dan tidak ada laki-laki yang memandikan, atau sebaliknya maka hendaknya juga ditayamumi. Namun dibolehkan bagi seorang suami memandikan istrinya yang meninggal dan sebaliknya.
Demikian juga seorang ibu boleh memandikan anak laki-alkinya yang wafat di bawah umur 6 tahun. Namun para ulama memakruhkan seorang ayah yang ingin memandikan anak perempuannya yang meninggal dibawah umur 6 tahun.
- Mengkafani
Hendaknya kain kafan untuk jenazah adalah yang berwarna putih, 3 helai untuk jenazah laki-laki dan 5 helai untuk jenazah wanita. Disunnahkan mengoleskan minyak wangi pada kain kafan tersebut. Diharamkan memakai sutra untuk kain kafan baik untuk laki-laki maupun perempuan karena hal itu masuk perkara yang berlebih-lebihan dan tidak ada manfaatnya.
Hadits:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
“Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula” (HR. Abu Daud no. 4061, Ibnu Majah no. 3566 dan An Nasai no. 5325. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
- Menshalati jenazah
Urutan tata cara menyalatkan mayit :
- Melakukan takbiratul ihram (takbir pertama).
- Tanpa perlu membaca istiftah langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) dan membaca basmalah.
- Diikuti dengan bacaan Al-Fatihah.
- Melakukan takbir kedua dan diikuti dengan ucapan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal shalawat yang dibaca pada tasyahud akhir dalam shalat fardhu.
- Melakukan takbir ketiga dan mendoakan si mayit dengan doa-doa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.(*)
- Selepas berdoa kemudian melakukan takbir terakhir (takbir keempat), berhenti sejenak, lalu salam ke arah kanan dengan satu kali salam.
(*) Di antara bentuk doa-doa tersebut adalah:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ونَوِّرْ لَهُ فِيهِ
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah dia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, isteri yang lebih baik dari isterinya. Masukkanlah dia ke dalam surga, lindungilah dari azab kubur dan azab neraka. Lapangkanlah baginya dalam kuburnya dan terangilah dia di dalamnya.” (HR. Muslim)
Jika yang dishalatkan itu mayit perempuan, orang yang shalat mengucapkan,
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا
Yaitu dengan mengubah semua dhamir-nya menjadi dhamir muannats (kata ganti jenis perempuan).
- Mengantar jenazah sampai kuburan
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkannya maka baginya pahala satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menguburkannya maka baginya pahala dua qirath”. Ditanyakan kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung yang besar”. (HR. Al-Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)
Dimakruhkan atas wanita untuk ikut serta mengantar jenazah sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Athiyah radhiyallahu anha dalam hadits Muslim 938. Juga dimakruhkan mengersakan suara di samping jenazah baik itu dzikir, bacaan Al Quran atau sekedar pembicaraan biasa sebagaimana yang dipraktekkan oleh para shahabat radhiyallahu anhum. Yang dimakruhkan juga adalah duduk sebelum jenazah diturunkan oleh orang-orang yang memikulnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alahi wasallam:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا, فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى تُوضَعَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian melihat jenazah, berdirilah. Barangsiapa yang mengiringinya, janganlah duduk hingga jenazah diletakkan (muttafaqun alaih)
- Menguburkan jenazah
Menguburkan jenazah dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Mendalamkan kuburan dan membaguskan liangnya
اِحْفِرُوْا وَ اَوْسِعُوْا وَ اَحْسِنُوْا، وَ ادْفِنُوا اْلاِثْنَيْنِ وَ الثَّلاَثَةَ فِى قَبْرٍ وَاحِدٍ وَ قَدّمُوْا اَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
“Galilah dan luaskanlah dan, baguskanlah, lalu quburkanlah dua atau tiga orang di dalam satu liang qubur, dan dahulukanlah orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an”. Sedang ayahku gugur, lalu diqubur didahulukan daripada kedua orang lainnya”.(hadits Shahih riwayat At Tirmidzi)
b. Membuatkan Lahd, karena lahd lebih utama daripada Asy Syaq meskipun Asy Syaq dibolehkan.
اللَّحْدُ لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِنَا
“Lahad (liang lahat yang bagian sisi arah qiblatnya ada cekungan untuk menempatkan mayit) adalah untuk kita dan syaq (liang lahat yang cekungannya berada di tengah) adalah untuk selain kita(selain Islam).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasaai)
c. Bagi takziah hendaknya mengepalkan tanah sebanyak tiga kepalan dan melemparkannya ke dalam liang dari arah kepala.
d. Mayit dimasukkan dari ujung bawah jika memungkinkan. Kemudian miring ke kilbardan membuka tali kain kafan. Orang yang meletakkan jenazah hendaknya membaca:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Dengan Nama Allah, dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e. Menutupi kuburan jenazah wanita dengan kain sebelum dimasukkan dan diletakkan di dalam liang, sedang jenazah laki-laki tidak perlu. Demikian yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.
Materi ketiga: Yang dilakukan setelah dikuburkan
- Mendoakan dan memintakan ampun
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkan ampunan untuk saudara kalian. Dan mintakan baginya keteguhan, karena dia sekarang ditanya.” (HR. Abu Dawud)
- Meratakan kuburan
Ali bin Abi Thalib mengatakan,
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ»
”Maukah kamu saya beri tugas sebagaimana tugas yang pernah diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku? Jangan biarkan gambar makhluk bernyawa, sampai kamu merusaknya, dan jangan biarkan kuburan yang ditinggikan, sampai kamu meratakannya.” (HR. Ahmad 741, Muslim 969, Abu Daud 3218, Turmudzi 1049, Abdurrazaq dalam Mushanaf 6487, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1366, dan beberapa ulama lainnya).
- Haram menyemen, duduk dan membangun sesuatu di atasnya
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyemen kuburan, duduk diatasnya atau membangun sesuatu di atasnya.” (HR. Muslim 2289, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushanaf 11764, dan yang lainnya).